Rabu, 14 September 2011

puisi kontemporer

Puisi Kontemporer

PUISI KONTEMPORER
          Dalam perkembangan terakhir kesusastraan Indonesia muncul adanya kaya sastra kontemporer, baik dalam bentuk puisi, prosa, maupun drama. Karya sastra kontemporer adalah karya sastra yang inkonvensional, yaitu menyimpang dari pola karya sastra pada umumya. Oleh karena menyimpang dari pola karya sastra pada umumnya, cara memahami maknanya pun berbeda.
          Dalam bidang puisi , puisi kontemporer berarti puisi yang dibuat atau diterbitkan pada permulaan tahun 70-an hingga sekarang, dan bentuknya menyimpang dari puisi-puisi pada umunya.
          Untuk memahami puisi kontemporer kita perlu mengetahui apa yang dikatakan Sutardji dalam Kredo Puisinya.

Kredo Puisi
       Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
       Kalau diumpamakan dengan kursi, ia adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk.Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
       Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian.dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
       Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian,dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
       Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (Obscene) serta penjajahan gramatika.
       Bila kata telah dibebaskan kretivitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian,tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya.
       Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
       Sebagai penyair saya hanya menjaga – sepanjang tidak mengganggu kebebasannya- agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
       Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikannya kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.
       Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantera.
                                                      
                                                                      Bandung, 30 Maret 1973
                                                                           Sutardji Calzoum Bachri



Ciri-ciri Puisi Kontemporer
  1. Penulisan kata, baris, dan bait menyimpang dari penulisan puisi pada umumnya.
  2. Terjadi kemacetan bunyi, bahkan hampir tidak dapat dibaca karena kadang-kadang hanya berupa tanda baca yang disejajarkan.
  3. Banyak pengulangan kata, frase, atau kelompok kata.
  4. Menggunakan idiom-idiom yang inkonvensional.
  5. Memperhatikan kemerduan bunyi.
  6. Kadang-kadang mencampuradukkan kata atau kalimat bahasa Indonesia dengan kata atau kalimat bahasa asing atau bahasa daerah.
    
Di Indonesia yang digolongkan kontemporer adalah puisi-puisi karangan:
  1. Sutardji Calzoum Bachri, dalam kumpulan puisinya O Amuk, Kapak.
  2. Ibrahim Sattah, dalam kumpulan puisinya Hai Ti.
  3. Hamid Jabbar, dalam kumpulan puisinya Wajah Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar